GADIS BERTAS MERAH
Oleh Aron Brusen
Aku
Kini aku terkenang lagi
Kenangan lama yang tependam di sudut anganku
Aku ingat
Kala senja itu
Saat awan sedang menangis dengan lirihnya
Ketika angin sedang menyanyikan sebuah tembang romantis yang dingin dengan sepoi
Aku
Aku tak bergeming dari tempatku berteduh
Bukan karena aku takut dengan awan yang sedang menangis
Atau terpukau dengan nyanyian angin
Aku hanya
Aku tak bisa mengatakannya kalau
Aku telah terhipnotis
Hatiku mencoba berlogika
Dan pikiranku lumpuh
Saat melihat dia untuk pertama kali
Aku sadar
Dia bukan aurora
Yang dengan keindahan warnanya bisa menghipnotis mataku
Aku tahu
Dia bukan racun kobra yang bisa membuatku lumpuh
Dia
Dia hanya seorang gadis
Seorang gadis biasa yang juga sedang berteduh
Memakai sebuah tas cantik berwarna merah delima
Berteduh di bawah atap gedung sekolah sambil berharap cemas
Kapan awan itu akan berhenti menangis
Kala itu
Aku sadar
Aku telah tertarik padanya
Tepat pada pandangan yang pertama
Sore itu
Kala itu
Aku
Namun sekarang
Aku baru menyadari kalau aku salah tentangnya
Aku ingin menyesal tapi semua telah berlalu
Aku ingin menarik kembali pikiranku yang dulu
Ingin kutulis ulang rentetan metafora yang telah kubuat di pikiranku tentangnya
Aku terlalu naif saat itu
Bagaimana bisa aku berpikir dia hanyalah seorang gadis biasa
Mengapa aku berpikir dia bukanlah aurora
Kenapa aku berpikir untuk membandingkannya dengan racun seekor binatang terkutuk
Aku naif
Aku sangat naif
Aku mengingat setiap inci tentangnya
Aku ingat
Alis tebalnya serta bulu matanya yang lentik tumbuh subur di atas sebidang wajah yang cantik
Aku ingat
Hidungnya tinggi seperti gunung Fuji dan kulitnya seputih puncak Everest
Aku ingat
Kedua matanya berwarna putih seperti susu dengan pupil berwarna hitam seperti kopi
Tapi tatapan matanya manis
Membuatku sampai terhipotis untuk mencari kata terbaik dari setiap ujung bumi hanya untuk menggambarkan tentang dirinya
Aurora
Mungkin hanya itu kata terbaik yang bisa disandingkan dengannya
Kala itu
Saat senja
Angin mulai berhenti bernyanyi
Dia lelah
Tapi aku masih melihat beberapa pohon cemara berdansa
Mungkin nyanyian angin masih membekas di telinga mereka
Awan juga berhenti menangis
Ia mengusap kesedihannya dengan sabar hingga perlahan cahaya mentari senja mulai mengganti tangisannya
Gadis itu mengulurkan tangan kecilnya sejajar dengan ujung atap
Ia ingin memastikan awan itu benar-benar tak menangis lagi
Ia menengadahkan kepalanya ke atas
Sesaat ia tersenyum hangat
Aku melihat senyumannya
Aku
Aku tak bisa menggambarkan senyumannya dengan kata-kata
Pikiranku lumpuh
Aku mulai berlogika tapi aku tak menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan senyumannya
Hati menyuruhku untuk cukup merasakan tapi aku memaksa hatiku untuk ikut berfikir
Nihil
Hati pun tak bisa menggambarkannya
Kala itu
Saat senja
Awan tak lagi menangis dan angin tak lagi bernyanyi
Gadis itu meninggalkan tempatnya berteduh
Aku ingin menggapainya namun aku masih tak bergeming dari tempatku
Aku jatuh terlalu jauh ke dalam lamunanku
Masih berusaha mememukan kata terbaik untuk menggambarkan senyumannya
Hingga siluet tubuhnya tak berada lagi di tempat itu
Aku masih belum menemukan apapun
Angin bersiul dengan lembut
Mengusap pipiku dengan lembut dan membangunkanku dari alam anganku
Aku masih belum menyerah untuk menggambarkan senyumannya
Mentari senja sepertinya tersenyum kepadaku
Ia menegurku dengan cahayanya yang hangat
Sisi gelap mulai tersingkap
Aku menemukan titik terang
Sekilas aku berpikir
Aku telah menemukan jawaban yang tepat untuk menggambarkan semua tentangnya
Aku telah menemukan jawaban mengapa pikiranku bisa lumpuh
Semua karena
Gadis itu
Dia
Gadis bertas merah itu
Dia
Cinta pertamaku