KITA MASIH HARUS TURUN KE JALANAN
Oleh Rusminah Qumainah
Menyalakan pelita harap di
tengah deru jalan raya. Menadahkan tangan pada sebarisan kendaraan yang
lalu lalang, melesakkan panah mimpi ke tengah jantung kota ini.
Kita masih harus turun ke jalanan.
Menepiskan
gerimis sekalipun ia menjelma badai. Menerobos hujan, walau ia nanar
membekukan sejuta kesempatan. Di pagari garis suratan yang membiru
malamkan segala kehidupan pinggiran. Mata-mata yang nyalang tak lagi
peduli malam atau pun siang.
Kita masih saja berhimpitan dalam
gerbong-gerbong kelas ekonomi. Atau berjejeran menyenandungkan serenade
anak jalanan di sepanjang trotoar kehidupan. Dan mungkin masih mengiris
sebentuk tangis di bawah jembatan yang ditinggalkan.
Kita masih harus turun ke jalanan.
Mengkiblatkan
wajah pada ruang-ruang pengap di sudut peradaban. Mengerotiskan
tarian-tarian permisif atas segala kesopanan, dari bar ke bar. Sebagian
juga kerap berbuka paha menjanjikan keriuhan surga.
Sementara
seniman-seniman penabuh genderang kaleng masih merapalkan nyanyian
kemarin. Di setiap perempatan lampu merah, mata-mata tak berdosa yang
mulutnya beraroma lem kimia, berlarian mengitari jalan menyongsong mobil
sedan seorang anggota dewan.
Kita masih harus turun ke jalanan.
Menggelar baliho, pamflet dan ratusan selebaran. Sibuk mengkritisi penguasa yang telah kita pilih tempo hari.
Menghujat
kemelaratan yang masih setia bergelayut manja di leher kita. Atau
sekadar berebut bantuan beberapa liter beras untuk makan.
Kita
masih memetakan arah perjalanan panjang ini, masing-masing bersaing
dalam kiprah tak kenal kompromi. Kau bisa saja leluasa menjual
anak-anakmu, atau menggadaikan harga dirimu. Pun mungkin aku bisa saja
sejenak menjelma kanibal pemangsa sesama.
Kita masih harus turun ke jalanan.
Menyalakan
pelita harap di tengah deru jalan raya. Mensiasati nasib yang seakan
enggan memihak kemiskinan. Masih bergerilya di belantara kota, yang
menyamarkan berjuta wajah kita. Masih di bawah lampu jalanan,
memberhalakan hasrat para bidadari panggilan.
Tak mengapa jika
mesti terlena pada sebotol air mineral di oplos alkohol dan cairan
pembasmi nyamuk, atau mau teler dengan racikan obat batuk. Ini malam
adalah sudah serba terserah, semua sah !! Atau kau mau menangis ?
Seperti seorang remaja di ujung gang sana yang barusan diapeli pacarnya,
dan kehilangan miliknya yang paling berharga.
Atau dia, seperti pria separuh wanita yang kerap menyibukkan diri minta kesetaraan dan penerimaan yang selayaknya manusia.
Kita masih harus turun ke jalanan. . .
Menyaksikan
anak-anak bumi ini yang tengah membuat sejarah mereka sendiri. Yang tak
tersentuh tangan nyaman kelayakan hidup. Yang tak terjamah tangan
bijaksana pendidikan. Mereka telah melampaui batas mampu kepapaan yang
tak punya apa-apa. Tapi jalanan telah begitu baik pada mereka. Di sana
bisa hidup, sekolah, makan, menjalin harapan, berteman, menjelma preman,
di jalanan kita bebas berkembang biak, membuat anak dan beranak.
Dan sesekali lampu merah berwarna serupa darah.